Pengalamanku kali ini berawal dari hari ulang tahunku yang ke 32. Kebetulan ulang tahunku kali ini pas jatuh pada hari Minggu, maka aku melewatkannya di rumah saja bersama anakku satu-satunya yang baru berusia 5 tahun. Sempat juga aku teringat pada mantan suamiku, karena tahun lalu kami masih merayakan ulang tahunku bersama. Kami baru bercerai beberapa bulan yang lalu.
Sore-sore, ada SMS masuk. Jantungku langsung bergemuruh ketika membaca pengirimnya: Tomi, salah satu selingkuhanku yang sekarang bekerja dan berdomisili di Semarang. Aku senang sekali karena ternyata dia masih ingat ulang tahunku. Tomi memang termasuk laki-laki yang romantis, dia selalu memperhatikan hal-hal kecil yang dapat membuat hatiku senang. Usianya lebih muda 2-3 tahun dibanding aku, belum berumah tangga, tapi pengalaman sex-nya lumayan.
Yang lebih membuat aku girang luar biasa, ternyata Tomi ada di Jakarta. Dia bilang melalui SMS, dia sengaja datang untuk merayakan ulang tahunku.
“Aku selalu kangen sama kamu,” tulisnya. “Aku juga,” balasku. “Kamu kangen apanya?” “Kangen jepitannya!” ”Jepitan yang mana? Yang atas apa yang bawah?” “Dua-duanya!”
Aku selalu berdesir-desir kalau menerima SMS seperti itu dari Tomi. Bukan apa-apa, obrolan seperti itu selalu mengingatkan aku pada petulangan-petualangan sex yang pernah kami lakukan. Tomi termasuk pandai bermain cinta, itu sebabnya hubungan kami termasuk langgeng, sudah berjalan hampir 4 tahun. Dengan cowok-cowok lain aku lebih suka untuk tidak menjalin hubungan berlama-lama.
Singkat cerita, kami janji bertemu di sebuah hotel yang dulu termasuk sering kami pakai untuk rendezvous. Aku datang lebih dahulu, langsung cek in, lalu menunggu Tomi di dalam kamar. Aku SMS Tomi untuk memberitahu nomor kamar.
“Aku masih di jalan,” balas Tomi. “Macet, padahal udah ngaceng nihhh…” “Ya udah, dielus-elus aja dulu, sementara nunggu jepitan nikmat.” “Aku gak sabaran nih, udah dari kemaren ngebayangin ML sama kamu.” “Aku jadi ngebayangin punyamu, lagi ngaceng, keras, gede. Pasti sedap tuh diisep.” “Emang cuma mau ngisep?” “Aku sih cuma mau ngisep, tapi gak tau deh memekku!” ”Uuuuh, jadi makin ngaceng nih, tau?! Awassss yaaa!” “Memekku juga mulai basah tau, Yang?!” “Tolong rabain memek kamu untukku.” “Gak usah diajarin, dari tadi juga udah kuraba-raba!” Kami terus ber-SMS ria sementara Tomi dalam perjalanan menuju hotel. Pintu kamar sengaja tidak kukunci supaya Tomi dapat langsung masuk. Aku rebahan di ranjang dengan gelisah. Kirim-kiriman SMS seperti itu membuat aku terangsang hebat. Vaginaku benar-benar basah, buah dadaku mengeras, tidak sabar ingin cepat-cepat mereguk nikmat bersama Tomi.
Untungnya Tomi muncul tidak lama kemudian. Karena sudah kuberitahu bahwa pintu kamar tidak kukunci, dia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Aku sedikit terkejut, tapi senang sekali. Tanpa beranjak dari ranjang, kukembangkan kedua tanganku untuk menyambut Tomi dengan pelukan.
Tomi mengunci pintu, lalu langsung membuka celana panjang berikut celana dalamnya. Aku tertawa melihat batang kemaluannya nampak sudah mengacung tegak. Lucu, sekaligus menggairahkan. Sementara Tomi membuka pakaiannya dengan terburu-buru, aku juga bergegas membuka kaos ketat dan rok mini yang kukenakan. Tomi memandang tubuhku yang hanya tinggal ber-bh dan celana dalam dengan rupa amat bernafsu.
Tanpa ba-bi-bu, dia langsung menerkam aku di ranjang. Kami langsung bergumul, berciuman bibir dengan panas bergelora. Kedua tangan Tomi liar meremas-remas apapun pada tubuhku. Celana dalamku diturunkannya dengan tergesa-gesa.
“Aku gak tahan, Yang…, kita langsung ngentot yaaa…. Ngobrolnya nanti aja, oke?”
Nafasnya sudah ngos-ngosan, aku hafal betul bagaimana Tomi kalau sudah diamuk birahi. Tentu saja aku tidak keberatan untuk langsung bersetubuh seperti permintaan Tomi, karena aku juga sudah amat sangat bergairah sedari tadi.
Kubuka pahaku memberi jalan. Tomi mencumbu sepasang payudaraku sambil mengarahkan rudalnya pada vaginaku. Terasa kepalanya yang besar menyeruak mulut vaginaku yang basah. Nikmat sekali. Kuresapi nikmatnya terobosan batang kemaluan Tomi pada liang vaginaku sambil memejamkan mata. Sleseeeeeppp….. blessss…!
“Ooooh…., enak banget, Sayaaang…,” rintihku. “Aku kangen kontol kamuuu….” “Aku juga kangen banget, Sayaaang…. Aku kangen ngentot sama kamuuu…” “Sekarang entot aku…, entot aku, Sayaaang….”
Tomi semakin bernafsu, gerakannya jadi semakin brutal dan agak kasar. Justru itu yang aku suka. Batang kemaluannya yang luar biasa keras terasa memenuhi liang vaginaku, menyentak-nyentak hingga ke ujung lorong kenikmatan milikku.
“Aaaakkkhhh…, asyiiiikkk, Saaayyy…., yahhh…, teken yang kenceng…, yahhh… gitu dooong…, uuuuggghhh…”
Dia menyentak-nyentaik batang kemaluannya lagi, semakin keras, semakin cepat dan bertenaga. Aku semakin lepas kontrol, jeritanku makin menjadi-jadi akibat dilanda nikmat yang luar biasa. “Aaaarrgghh…., gilaaa…! Kontolmu sedap banget, Sayaaang… Entot memekku, Sayaaang…, yah…, yaaahh, gituuuuuhh…, aaarggghhhh…., yang keras, yang kerassss…., ooohhhh, kontol kamu sedap, Sayaaang!”
Aku memang termasuk type perempuan yang “heboh” bila sedang bersetubuh. Semakin nikmat persetubuhan yang kurasakan, rintihan dan eranganku pasti akan semakin keras dan jorok. Dulu aku malu dengan perilaku sex-ku yang satu itu, karena takut dinilai perempuan murahan yang maniak, tapi lama-kelamaan aku justru menikmatinya. Kenyataannya banyak laki-laki yang justru menyukai erotisme seperti itu, karena mereka jadi merasa sangat perkasa dan semakin bergairah karena merasa berhasil membuat aku keenakan.
Tomi semakin kuat menggecak-gecak batang kemaluannya di dalam vaginaku, seiring dengan semakin kuatnya rintihan dan eranganku. Kurasakan klimaksku sudah sangat dekat. Kuangkat-angkat pinggulku setiap kali Tomi menggecak, sehingga batang kemaluannya yang besar dan keras itu menghunjam-hunjam semakin dalam. Nikmat luar biasa.
Kami terus bersetubuh, berganti-ganti posisi. Terakhir, ketika orgasmeku telah semakin dekat, Tomi membalikkan tubuhku hingga membelakanginya. Aku segera mengerti. Lekas-lekas aku menungging di atas ranjang dengan kedua tangan berpegangan pada pinggiran jendela kamar. Lalu kembali Tomi menggenjotku dari belakang. Aku berusaha mengimbangi dengan menggerak-gerakkan pinggul. Setiap dia menekan, kudorong pantatku ke belakang, demikian pula sebaliknya. Kudengar nafas Tomi kian memburu, diselingi suara lenguhannya setiap kali dia menggecak batang penisnya kuat-kuat.
Akhirnya aku melolong lebih dahulu. Aku orgasme!
“Ooooooooorrggghhhhh……!!! Toooommmm, aku keluaaaarrr….!!!!”
Tomi semakin bersemangat, digecak-gecaknya kemaluannya semakin kuat dan cepat. Tubuhku terguncang-guncang semakin hebat. Sementara kemaluanku berkedut-kedut saat aku mencapai klimaks, kugoyang-goyangkan pinggulku maju-mundur dengan cepat dan kuat untuk mengimbangi gerakan Tomi. Aku tahu pasti, sebentar lagi dia pun akan mencapai puncak kenikmatannya.
“Oh, ah, uuughhh..!!! Memek kamu enak, Sayang…., aku hampir keluar, aku hampir keluar, adduuhhhh…., enak sekalih, enak sekali memek kamuhhhh…., oooorrrgghhh.., aaarrgghhh…., uuuuggghhh…., aaaaaaaarrrgghhhhh……..!!!”
Tomi menyemprotkan spermanya banyak sekali. Terus kugoyang-goyang pinggulku agar dia lebih merasa nikmat. Dia melenguh-lenguh sambil meremasi buah dadaku yang bergelantung, sementara air maninya menyemprot-nyemprot di dalam vaginaku.
Setelah itu Tomi menghempaskan nafasnya yang berat. Dipeluknya tubuhku. Kami lalu bercium-ciuman sambil berangkulan di ranjang.
“Kamu apa kabar selama ini, Sayang?” tanya Tomi sambil membelai-belai keningku yang berkeringat. Bayangkan, setelah bersetubuh demikian panas, dia baru sempat menanyakan kabarku. Aku tersenyum.
“Baik,” jawabku. “Kamu sih, sombong, mentang-mentang udah jadi boss!” “Aku selalu kangen sama kamu, tau?!” “Aku juga, soalnya kamu yang paling hebat!” “Hebat apanya?” Aku tersenyum, kugenggam batang kemaluan Tomi sebagai jawaban. Tomi mengikik, dan penisnya otomatis bergerak membesar kembali.
“Tuh kan, baru dibilang paling hebat, dia langsung bangun lagi!” aku menggoda sambil mengelus-elus batang penis Tomi yang kian mengeras. Kuangkat pahaku, menyilangi paha Tomi, lalu kugesek-gesekkan ujung penisnya ke belahan vaginaku. Tomi menyeringai. Tubuhku dipeluknya lebih erat, lalu kami berciuman bibir. Hangat, tandas, dan lama…
Selanjutnya kami memulai permainan ronde kedua. Seperti biasa, Tomi memang kuat dan tahan lama. Entah berapa lama kami bersetubuh untuk yang kedua kali malam itu, yang jelas akhirnya kami mencapai orgasme dalam waktu bersamaan. Setelah itu kembali beristirahat. Buang air, mencuci tubuh di kamar mandi, pesan makan malam, ngobrol-ngobrol, lalu bercumbu lagi.
Pagi-pagi aku pulang, ganti baju dan langsung berangkat lagi ke kantor. Sebetulnya aku capek sekali setelah mendaki puncak nikmat berkali-kali sepanjang malam, tapi hari itu boss ada meeting di kantor, jadi tidak mungkin aku membolos (aku bekerja sebagai sekretaris direksi). Lagipula, kenikmatan berkali-kali yang diberikan Tomi, justru membuat pikiranku menjadi cerah dan semangat menjadi tinggi.
Sebelum berpisah, Tomi mohon maaf karena tidak bisa menemui aku lagi karena banyak hal yang harus dikerjakannya. Dia lalu meminta aku mengantarnya ke bandara bila nanti dia kembali ke Semarang. Aku setuju saja.
Kamis sore, Tomi menjemput aku di kantor untuk mengantarnya ke bandara seperti yang sudah kami sepakati tempo hari. Tapi dia tidak sendiri, melainkan ditemani seorang cowok ganteng. Aku diperkenalkan dengan cowok itu yang ternyata sahabat Tomi sejak mereka masih sama-sama remaja. Namanya Irvan, usianya nampak sedikit lebih muda dibanding Tomi.
Ketika berkenalan, aku sempat mencuri pandang ke arah bokongnya. Lumayan gede. “Kalo neken, kayaknya nikmat nih,” pikirku langsung ngeres. Pada saat yang sama, aku melihat sekilas dia melirik ke arah dadaku. Saat itu aku mengenakan blazer dan daleman tanktop yang telah kubuka 2 buah kancingnya sejak dari kantor, sehingga belahan dadaku yang penuh nampak terlihat jelas. Darahku kontan berdesir lebih cepat menyadari Irvan tertarik pada buah dadaku yang berukuran 36C.
Tomi duduk di kursi belakang bersamaku, sementara Irvan sendirian di depan menjadi “sopir”. Kami langsung tancap gas, masuk tol menuju bandara.
Di perjalanan, kami ngobrol-ngobrol biasa pada mulanya. Cerita macam-macam, diselingi tawa dan gurauan. Irvan sesekali nimbrung. Sekitar sepuluh menit sejak berangkat dari kantor, Tomi merapatkan duduknya. Sambil ngobrol, Tomi mulai menggerayangi aku, pahaku dielus-elus, jarinya nakal menekan-nekan belahan vaginaku. Aku bilang, “Eeeh, jangan dong, Yang, gak enak sama Irvan….” Tapi Tomi tahu, aku tidak sungguh-sungguh menolak perlakuannya itu. Buktinya aku membiarkan jemarinya menelusup ke balik celana dalamku, bahkan pahaku mengangkang memberi jalan. Sesungguhnya aku hanya takut tidak dapat mengendalikan diri, padahal tempat dan situasi tidak terlalu kondusif untuk suatu persetubuhan.
Entah bagaimana, tahu-tahu Irvan berkata, “Santai aja, aku ngerti kok…” Aku melihat dia mengerling nakal kepadaku dari kaca spion. Nafsuku jadi semakin bangkit. Masabodo’ ah, pikirku. Maka, aku diam saja menikmati rabaan-rabaan Tomi pada selangkanganku.
“Ssssssshhhhh……, geli tau, Yang?!!” desisku sambil mengangkangkan kaki lebih lebar. Tomi jadi makin bersemangat. Celana dalamku diturunkannya cepat-cepat sembari menciumi batang pahaku.
“Buka blazer kamu, Sayaaang…!” katanya memberi instruksi, sementara dia sendiri sibuk membuka kait rok mini yang kukenakan. Aku benar-benar tidak peduli lagi pada Irvan, langsung saja kuturuti permintaan Tomi untuk membuka blazer.
“Buka semua deh, Yaaang…,” Tomi merayu sambil bergerak hendak menciumi kedua pahaku kembali. Rokku sudah dicampakkannya, sehingga bagian bawah tubuhku sudah telanjang. Aku tinggal mengenakan tanktop dan bh sekarang.
“Kamu gila, tau gak sih?!” aku mendesis menikmati jilatan lidah Tomi pada pahaku, lalu kuturuti permintaannya. Kubuka tanktop dengan agak tergesa. Ketika aku membuka bh, kulihat Irvan memperhatikan dari kaca spion. Cuek aja, ah, batinku dengan penuh nafsu.
Sambil menjilat-jilat pangkal pahaku, sebelah tangan Tomi mulai meremas-remas sepasang payudaraku yang telanjang. Aku mengerang. Tomi lalu mengangkangkan pahaku lebih lebar, lidahnya merayap menuju vaginaku yang merekah basah. Aku mengerang lebih kuat ketika kurasakan ujung lidahnya menjilat-jilat belahan vaginaku. Selanjutnya aku semakin lupa diri. Tomi memang sudah hafal betul bagaimana membuat birahiku cepat bangkit. Kemaluanku dicumbu dan dilumatnya habis-habisan. Diobok-obok dengan jari, dihisap, dikenyot. Aku benar-benar tidak kuat menahan diri untuk menjerit-jerit.
“Sayaaang…, oooohhh…, yessss..!! Terus isep….oooouuwww!!! Ooohhh…., aduuh, gilaaa…, enak banget, Sayaaang…, aaahhh…, ooouuwwww… aaarrggghhh…, terus, Sayaaang…, aaahhh…, ooooookkkhhh…”
Aku membuka pahaku lebih lebar lagi sambil menekan-nekan kepala Tomi agar tambah masuk ke vaginaku yang terasa megap-megap keenakan. Aku benar-benar lupa diri, tak ada lagi rasa malu ataupun sungkan. Sempat kulirik Irvan, nampak mukanya agak tegang, namun itu justru menambah gairahku. Aku malah mengerang, merintih, dan menjerit semakin menjadi-jadi.
“Nikmaaat, oooh…, iseep teruusss…, oh, oh, oh, aaah, ooohhh…, teruuusss, isep itilku, kacangkuu…., yaaah, kenyot terus, Sayaaang…, yaaah.., kenyooot…, sedaaaap…”
Entah bagaimana, tiba-tiba ada hasrat aneh di dalam dadaku untuk membakar birahi Irvan yang aku tahu sudah tidak sepenuhnya berkonsentrasi ke jalan. Semakin kusadari betapa dia tertarik dengan apa yang tengah kulakukan bersama Tomi, semakin aku bernafsu untuk menggoda kelelakiannya.
Aku melihat Irvan agak menurunkan kaca spion, sehingga dia pasti bisa jelas melihat tubuhku di kaca itu. Rupanya sengaja dia mau menonton. Tahu begitu, birahiku semakin menggebu-gebu. Kuremas-remas sendiri kedua payudaraku yang telanjang sambil terus merintih dan mengerang. Kulihat Irvan ternganga, mulutnya membentuk ucapan “ugh”. Ingin rasanya aku meremas batang kemaluannya yang aku tahu pasti sudah semakin tegang dan keras menyaksikan pertunjukan sex gratis dari kaca spion. Berpikir begitu, birahiku jadi semakin tinggi, apalagi Tomi terus mencumbui kemaluanku. Rintihan-rintihan nikmat keluar begitu saja dari mulutku, liar tak terkendali.
“Ooooh, isep, Sayaaang…, terussss…, kerjain memekku……Aduuuh, gilaaa…, sedap, nikmat, ah, uhhhh, memekku basah banget…, lap dulu dong, Sayaaang…”
Kuangkat kepala Tomi dari selangkanganku. Tomi bangkit, tapi bukan untuk melap seperti permintaanku, melainkan justru membuka semua celananya, Kemaluannya telanjang, mengacung tegak, keras seperti tongkat kayu.
“Oooh.., aku isep kontolmu ya Sayang.., aku kenyot ya?”
Tomi melenguh ketika aku mengurut kemaluannya yang keras menggairahkan, lalu katanya, “Aku nggak tahan, Sayang…, aku mau fuck kamu.., aku pengen ngentot disini!”
Sambil berkata begitu, tubuhku didorongnya agak kasar sampai aku rebahan di jok. Kunaikkan sebelah kakiku tinggi-tinggi ke sandaran jok, sementara yang sebelah lagi menjuntai ke bawah. Tomi semakin lupa diri menyaksikan posisiku yang mengangkang.
“Kita ngentot ya, Sayang?” bisiknya dengan suara agak serak sambil menciumi buah dadaku yang montok. “Aku masukin kontolku yaaa…., aku nggak tahan…, aku kangen sama memek kamu…”
“Aaaakkhhh.., sedaaap…., yesss…, ooohhh, kontol kamu udah masuk, Sayaang… Yaaahhhh, teken terus sampe mentok.., teruuussss…”
Tomi mendorong batang kemaluannya yang besar dan keras itu hingga terasa mentok di dasar vaginaku. Kuangkat pinggulku tinggi-tinggi, menyambut sodokan Tomi yang semakin kuat. Tomi mengenyoti puting susuku sembari menggecak-gecak penisnya yang perkasa di liang kemaluanku. Kami semakin lupa diri, sama sekali tidak peduli lagi pada Irvan.
“Uuuuuggghhh…, ooooohhhhh…, aaaarrrggghhhhh…,” kami teriak-teriak berbarengan, menyalurkan nikmat yang tak terkira.
“Sayaaang, entot aku, Yaaang…, ahhh, kontolmu sedaaap, ooohhh…, memekku enak banget nih dientot kamu… Ohhh, kita fuck terus, Sayang, yaaahhh…, gesek terusss, tekeeeennn, goyang, puter, auh, entot terus memekku, Sayaaang…., entot terussss..”
Aku terus menjerit-jerit, seperti biasa bila tengah didera nikmat bersetubuh. Entah berapa menit Tomi menghantam vaginaku dengan penisnya yang perkasa, tahu-tahu kurasakan badanku agak panas dan semakin ringan. Goyanganku jadi semakin cepat, liar tak terkendali. Orgasmeku sudah dekat.
“Yaaang, aku mau keluaaaar…!” otomatis aku mengerang semakin kuat. “Keluaaaar!!! Aku mau keluaaar……!!! Oooooohh, fuck me terussss!! Entoootttt…., ngeweeeee… entoooot…, ngeweee aaaaaaarghhhh….”
Aku orgasme. Tubuhku serasa melayang tinggi sekali. Nikmat luar biasa.
“Oh my God, oh my God, ngentot nikmaaat, ngentot sedaaap, aku suka kontol kamu, Sayaaang…, aku suka ngentot sama kamu….. Oooooooookkkhhhh,” aku melolong sejadi-jadinya, sementara Tomi mengocok penisnya semakin kuat dan cepat. Terasa batang kemaluannya menghunjam-hunjam di dalam liang vaginaku yang telah banjir oleh cairan orgasme. Beberapa saat kemudian….,
“Oh, ah, oh, aku juga mau keluar…, enak banget, ahhh, enak ngentot sama kamu, ohhh, aku suka ngentotin kamu…, aku mau keluar, aku mau keluar, yah, oh, aaaahhh, uuuugghhh, aaaaaaarrrggghhh….”
Setelah itu yang terdengar hanya suara desah. Sejenak aku melupakan Irvan, sama sekali tak terpikirkan olehku bagaimana kira-kira reaksinya mengetahui ada orang bersetubuh di jok belakang, sementara dia sedang menyopir sendirian di depan. Tomi lebih-lebih tidak peduli. Dia asyik memeluk tubuh bugilku, sambil mengatur nafasnya yang memburu.
Agak lama kami membisu dalam sisa-sisa kenikmatan seperti itu, sampai tiba-tiba terdengar suara Irvan.
“Ehm, udah mau nyampe nih, rapi-rapi, deh!” katanya nenyadarkan aku dan Tomi. Kami bangun, merapikan pakaian masing-masing dengan agak tergesa. Sekilas aku lihat kaca spion sudah pada posisi semula.
“Sorry ya, coy, kita lupa diri,” kata Tomi basa-basi. Aku pura-pura tidak memperhatikan, sibuk mengenakan kembali celana dalamku, tapi sesungguhnya aku melirik pada Irvan yang mesem-mesem penuh arti.
Sementara berpakaian, aku pikir lebih baik aku tidak mengenakan bh lagi. Kancing tanktop kembali kubiarkan terbuka 2 buah. Gila memang, saat itu di otakku sudah terbayang bagaimana indahnya sebentar lagi aku tinggal berdua saja dengan cowok seganteng Irvan.
Ketika tiba di bandara, Tomi meminta Irvan untuk langsung saja mengantarkan aku pulang. Katanya, “Kamu tidur aja di jok belakang, nanti dibangunin Irvan kalo udah sampe rumah.” Dia lalu menerangkan alamat rumahku kepada Irvan.
Begitu mobil berangkat meninggalkan bandara, aku langsung pindah ke jok depan.
“Biarin aja di belakang, kan kamu mau tidur?!” Irvan berbasa-basi. Aku tersenyum sambil merapikan posisi dudukku. Kuturun-turunkan rok mini yang kukenakan guna menutup paha mulusku yang tersingkap, tapi sebenarnya gerakan itu justru kusengaja untuk memancing perhatian Irvan. Kulihat matanya mengerling pada pahaku, berarti pancinganku mengena.
“Mas, tadi sorry ya, kamu jadi gak konsen ke jalan,” kataku kemudian. “Si Tomi emang suka gila, kadang-kadang…, gak bisa nahan kalo lagi pengen…”
Beberapa saat Irvan tidak menjawab, lalu tiba-tiba dia berkata dengan suara yang agak tercekat. Nampaknya dia masih sangat dipengaruhi birahi. “Mbak tau gak, aku baru kali ini lihat orang ML langsung dengan mata kepalaku sendiri.” “Aku juga baru sekali ini ditonton begitu, Mas! Tau gak sih, sebenernya aku malu banget…, tapi gimana dong?! Sex emang gitu kan, kadang-kadang bikin kita lupa diri…!” “Iya sih, gak apa-apa kok, aku ngerti…, tapi bukannya tadi mbak tambah bergairah karena tau aku ‘ngintip? Bukannya mbak malah sengaja manas-manasin aku?”
Duh, malu banget…. “Kok tau sih?” akhirnya kucetuskan saja keherananku. Kepalang basah, aku bertanya begitu sambil mencubit mesra lengan Irvan. Dia tersenyum sambil terus memandang ke arah jalan.
“Jangan manggil ‘mbak’ ah, gak enak…,” kataku kemudian sambil menatap wajah Irvan dari samping. Keren banget, batinku. “Kamu juga jangan panggil ‘mas’ dong yaaa…,” jawab Irvan, sambil meletakkan tangan kirinya di atas pahaku. Aku langsung terdiam seribu basa, jantungku kontan bergemuruh. Nekad juga nih orang, pikirku. Sekilas Irvan mengerling ke arahku, lalu perlahan telapak tangannya mulai bergerak-gerak mengusapi paha mulusku yang tersingkap. Kurang ajar, tapi aku suka sekali.
Otomatis laju mobil kami jadi perlahan. Irvan mengambil lajur paling kiri supaya tidak mengganggu perjalanan mobil lain, mengingat kami masih berada di jalan tol.
Aku pura-pura tidak terpengaruh pada rabaan-rabaan Irvan, hanya saja mulutku seperti terkunci. Bulu-bulu romaku terasa meremang. Gila, baru diraba paha, birahiku sudah amat terangsang. Cowok ini pasti lihai, batinku penuh harap. Pahaku sesekali diremasnya dengan lembut, lalu tangannya merayap semakin naik. Karena tidak tahan, tahu-tahu kucubit lengannya. Dia tersenyum sedikit.
“Masih enak?” tanyanya setengah berbisik.
Aku tidak menjawab, tapi kepalaku mengangguk-angguk cepat. Irvan makin bersemangat, tangannya meraba pahaku kian tinggi, menelusup ke balik rok. Aku menggigit bibir seraya menggeser dudukku lebih mendekat.
Lalu terasa jari-jarinya telah menyentuh selangkanganku. Darahku kian berdesir-desir. Nafsu sex-ku memang besar, birahiku cepat sekali naik, padahal tadi aku baru saja mencapai orgasme yang luar biasa bersama Tomi.
“Kamu bisa konsen?” tanyaku, suaraku mulai parau karena birahiku mulai tinggi. Irvan tidak menjawab, malah menelusupkan jarinya ke vaginaku. Otomatis pinggulku terangkat dan kedua pahaku merenggang. Terasa jari-jari Irvan menggesek-gesek lembut belahan vaginaku. Nikmat sekali.
“Masih enak ya?” bisik Irvan bersemangat, mungkin dia tahu aku demikian terangsang. “Bangeeettt…,” jawabku tanpa malu-malu lagi. Mulutku mulai mengeluarkan desis-desis kenikmatan. “Sssshhhhh…., aaaahhhh…, enak bangeeettt…. Kamu pinter…!!”
Sandaran jok kurebahkan sedikit supaya posisiku lebih nyaman. Cepat kuturunkan celana dalamku, kubuka sekalian, lalu aku duduk mengangkang. Sementara itu, tangan Irvan tak sedetikpun lepas dari selangkanganku.
Jari tengahnya terasa menyusup, menggelitik-gelitik clitorisku yang sudah sangat basah. Sesekali diremasnya gundukan kemaluanku. Jari-jarinya bergerak lembut namun amat terampil. Nikmatnya tak terkatakan.
“Sssshhhh….., aaarrrgghhhh….., ssshhhh…., aaaaaarrrggghhhh…..,” aku terus mendesis-desis keenakan. Jari tengah Irvan mulai mengocok-ngocok, bergerak cepat maju-mundur di liang vaginaku yang licin oleh lendir. Dudukku jadi semakin melonjor dan mengangkang. Irvan memasukkan lagi satu jarinya, lalu masuk lagi yang ketiga tak lama kemudian. Aku mulai menjerit-jerit, nikmat sekali diobok-obok dengan tiga jari.
Aku mulai lupa diri akibat diamuk birahi. Seperti biasa, mulutku terus mendesis, mengerang, merintih, mengeluarkan kata-kata nikmat penuh nafsu. Karena semakin tidak tahan, tanganku begitu saja meraba selangkangan Irvan. Gila, tonjolannya besar sekali! Aku jadi semakin bernafsu. Cepat kutarik ritsleting celananya, dia membantu membuka gesper lalu mengeluarkan batang kemaluannya.
“Aauwww! Punya kamu gede bangetttt…..” Irvan tampak blingsatan mendengar komentar spontanku. Sungguh aku tidak bohong, penisnya memang luar biasa besar dan panjang. Aku tidak tahan, batang kemaluannya kuremas-remas dengan gemas.
“Gedean mana sama Tomi?” tanya Irvan kemudian, sementara aku asyik mengelus-elus batang kemaluannya yang menjadi semakin keras. “Dia gede, tapi kamu super gede!” Irvan tertawa mendengar jawabanku. “Isep ya?” tanyaku. Irvan mengangguk-angguk. Joknya lebih dimundurkan sedikit supaya memudahkan aku melakukan blow job.
Aku cengkeram penuh batang penis Irvan, aku jilat ujungnya yang ternvata sudah keluar cairan bening. Kuangkat kepalaku sejenak sambil menatap Irvan yang harus membagi konsentrasinya ke jalan. “Kamu masih bisa nyetir kan? Hati-hati nabrak lho ya….”
Irvan tidak menjawab. Tangan kirinya menyusup, meremas buah dadaku yang terasa keras memuai akibat birahi. Aku jadi semakin tidak peduli apapun lagi, kumasukkan kepala penis Irvan ke dalam mulutku. Aku hisap perlahan. Batang penis itu berdenyut sedikit, membuat aku tambah bernafsu. Aku hisap lebih kuat ujungnya, lalu aku masukkan semua ke mulut sambil aku putar-putar. Irvan mulai merintih-rintih keenakan.
“Oooh…., ssshhh…, gilaaa.., sedap isepan kamu, aaarggh…, kenyot terus, Sayaaang…, yaaahhhh”
Aku kocok terus penisnya, kadang pelan, lalu cepat, lalu kupelankan lagi, lalu cepat lagi, pelan lagi, cepat lagi. Begitu terus sambil aku hisap-hisap. Biji pelirnya aku usap-usap. Dia lebih mengangkang. Aku mengerti, kuturunkan mulutku, kukenyot-kenyot buah zakarnya.
“Aaah…, sssssshhhh…, uugh, enak bangeeet,” Irvan mengerang-erang sambil meremasi buah dada montokku.
“Aku gak tahan,” katanya lagi. “Aku mau ngewek sama kamu, mau ngentot sama memek kamu….” Nafasnya ngos-ngosan, tangannya kembali merogoh-rogoh vaginaku.
“Iya, Sayang, aku juga pengen banget dientot kontol kamu,” aku menjawab dengan nafas yang tak kalah ngos-ngosan, sambil menciumi dan menjilat-jilat kepala penis Irvan yang merah mengkilat.
“Aaah…, yuk, di mana ya?” “Mampir hotel aja…, cari yang deket-deket sini…”
Selanjutnya aku kembali sibuk menghisapi kemaluan Irvan, sementara dia setengah ngebut menuju arah Ancol. Tidak terlalu lama, kami tiba di sebuah hotel kecil yang cukup nyaman dan bersih. Begitu sampai di muka lobby, aku langsung turun, check in, lalu bergegas masuk kamar, sementara Irvan memarkirkan mobil.
Di kamar aku langsung membuka tanktop, dan melemparnya begitu saja di lantai. Lalu aku masuk kamar mandi untuk buang air kecil. Kubuka rokku, kugantung di pintu kamar mandi. Kini aku telanjang bulat karena celana dalam sudah kutanggalkan sejak di dalam mobil.
Keluar dari kamar mandi, Irvan persis masuk kamar. Matanya terbeliak melihat tubuh sintalku yang tidak berpenutup sehelai benangpun. “Body kamu bagus banget,” dia memuji sembari mengecup putting susuku yang sudah mengeras sedari tadi. Tubuhku disandarkannya di tembok depan kamar mandi. Lalu diciuminya sekujur tubuhku, mulai dari pipi, kedua telinga, leher, hingga ke dadaku. Sepasang payudara montokku habis diremas-remas dan diciumi. Putingku setengah digigit-gigit, digelitik-gelitik dengan ujung lidah, juga dikenyot-kenyot dengan sangat bernafsu.
“Toket kamu fantastis,” desisnya. “Aku udah nafsu kepingin ngenyot ini sejak aku liat dari kaca spion….” “Aku tau,” jawabku sembari meremas tonjolan kemaluannya. Dengan bergegas, kutarik ritslitingnya, lalu kuloloskan celana hingga celana dalamnya. Mengerti kemauanku, dia lalu duduk di pinggir ranjang dengan kedua kaki mengangkang. Dibukanya sendiri kemejanya, sementara aku berlutut meraih batang penisnya, sehingga kini kami sama-sama bugil.
Agak lama aku mencumbu kemaluannya, Irvan minta gantian, dia ingin mengerjai vaginaku. Tapi kataku, “Masukin aja yuk, aku udah pengen ngerasain kontol kamu!” Irvan tersenyum lebar. “Udah gak sabar ya?” godanya. “Iya, pengen dientot, kontolmu pasti enak…, gede, montok…!”
Irvan menarik tubuhku. Kami berpelukan, berciuman rapat sekali, berguling-guling di atas ranjang. Ternyata Irvan pintar sekali bercumbu. Birahiku naik semakin tinggi dalam waktu yang sangat singkat. Terasa vaginaku semakin berdenyut-denyut, lendirku kian membanjir, tidak sabar menanti terobosan batang kemaluan Irvan yang super besar.
Berbeda dengan Tomi, Irvan nampaknya lebih sabar. Dia tidak segera memasukkan batang penisnya, melainkan terus menciumi sekujur tubuhku. Terakhir dia membalikkan tubuhku hingga menelungkup, lalu diciuminya kedua pahaku bagian belakang, naik ke bongkahan pantatku, terus naik lagi hingga ke tengkuk. Birahiku menggelegak-gelegak.
“Udah, Sayaaaang…..,” rengekku memohon. “Please…., masukiiiinnn…”
Irvan menyelipkan tangan kirinya ke bawah tubuhku, tubuh kami berimpitan dengan posisi aku membelakangi Irvan, lalu diremas-remasnya buah dadaku. Lidahnya terus menjilat-jilat tengkuk, telinga, dan sesekali pipiku. Sementara itu tangan kanannya mengusap-usap vaginaku dari belakang. Terasa jari tengahnya menyusup lembut ke dalam liang vaginaku yang basah merekah.
“Memek kamu bagus, tebel, pasti enak ngentot sama kamu….,” dia berbisik persis di telingaku. Suaranya sudah sangat parau, pertanda birahinya pun sama tingginya dengan aku. Aku tidak bisa bereaksi apapun lagi. Kubiarkan saja apapun yang dilakukan Irvan, hingga terasa tangan kanannya bergerak mengangkat sebelah pahaku.
Mataku terpejam rapat, seakan tak dapat lagi membuka. Terasa nafas Irvan semakin memburu, sementara ujung lidahnya menggelitiki lubang telingaku. Tangan kirinya menggenggam dan meremas gemas buah dadaku, sementara yang kanan mengangkat sebelah pahaku semakin tinggi. Lalu…, terasa sebuah benda tumpul menyeruak masuk ke liang vaginaku dari arah belakang. Oh, my God, dia telah memasukkan rudalnya….!!!
Sejenak aku tidak dapat bereaksi sama sekali, melainkan hanya menggigit bibir kuat-kuat. Kunikmati inci demi inci batang kemaluan Irvan memasuki liang vaginaku. Terasa penuh, nikmat luar biasa.
“Oooooohhhhh….,” sesaat kemudian aku mulai bereaksi tak karuan. Tubuhku langsung menggerinjal-gerinjal, sementara Irvan mulai memajumundurkan tongkat wasiatnya. Mulutku mulai merintih-rintih tak terkendali.
“Tuh kan, kontolmu enaaaak …!!!,” kataku setengah menjerit.
Irvan tidak menjawab, melainkan terus memajumundurkan rudalnya. Gerakannya cepat dan kuat, bahkan cenderung kasar. Tentu saja aku semakin menjerit-jerit dibuatnya. Batang penisnya yang super besar itu seperti hendak membongkar liang vaginaku sampai ke dasar.
“Ooooohhhh…., tolooooonggg.., gustiiii…!!!” Irvan malah semakin bersemangat mendengar jerit dan rintihanku. Aku semakin erotis. “Aaaahhhh, kontolmuuu…, ooooohh, aaaarrrghhh…, kontollmuuu…, ooohhhh…!!!”
Irvan terus menggecak-gecak. Tenaganya kuat sekali, apalagi dengan batang penis yang luar biasa keras dan kaku. Walaupun kami bersetubuh dengan posisi menyamping, nampaknya Irvan sama sekali tidak kesulitan menyodokkan batang kemaluannya pada vaginaku. Orgasmeku cepat sekali terasa akan meledak.
“Aku mau keluar! Aku mau keluaaar!!” aku menjerit-jerit. “Yah, yah, yah, aku juga, aku juga! Enak banget ngentot sama kamu!” Irvan menyodok-nyodok semakin kencang. “Sodok terus, Sayaaang!!!” “Yah, ooohhh, yaaahhh, uuuuggghhh!!!” “Teruuuuussss….., aaarrggghh…., sssshhhh…., ohhh…, sodok terus kontolmuuuu…!” “Oh, ah, uuugghhh…” “Enaaak…., kontol kamu enak, kontol kamu sedap, yahhh, teruuuusssss…, entot aku terus, Sayaaang…, sodok terusssss…., entooootttt…., yaaaahhhhhh…..!!!” “Oooorrrgghhh…., yaaahhhh…., uuuugggghhhh… sssshhhh…, aaarrggghhh…”
Pada detik-detik terakhir, tangan kananku meraih pantat Irvan, kuremas bongkahan pantatnya, sementara paha kananku mengangkat lurus tinggi-tinggi. Terasa vaginaku berdenyut-denyut kencang sekali. Aku orgasme!
Sesaat aku seperti melayang, tidak ingat apa-apa kecuali nikmat yang tidak terkatakan. Irvan mengecup-ngecup pipi serta daun telingaku. Sejenak dia membiarkan aku mengatur nafas, sebelum kemudian dia memintaku menungging. Aku baru sadar bahwa ternyata dia belum mencapai orgasme.
Kuturuti permintaan Irvan. Dengan agak lunglai akibat orgasme yang luar biasa, kuatur posisi tubuhku hingga menungging. Irvan mengikuti gerakanku, batang kemaluannya yang besar dan panjang itu tetap menancap dalam vaginaku.
Lalu perlahan terasa dia mulai mengayun pinggulnya. Ternyata dia luar biasa sabar. Dia memajumundurkan gerak pinggulnya satu-dua secara teratur, seakan-akan kami baru saja memulai permainan, padahal tentu perjalanan birahinya sudah cukup tinggi tadi.
Aku menikmati gerakan maju-mundur penis Irvan dengan diam. Kepalaku tertunduk, kuatur kembali nafasku. Tidak berapa lama, vaginaku mulai terasa enak kembali. Kuangkat kepalaku, menoleh ke belakang. Irvan segera menunduk, dikecupnya pipiku.
“Kamu hebat banget,” kataku terus terang. “Kukira tadi kamu udah hampir keluar!” “Emangnya kamu suka kalo aku cepet keluar?”
Aku tersenyum, kupalingkan mukaku lebih ke belakang. Irvan mengerti, diciumnya bibirku. Lalu dia menggenjot lebih cepat. Dia seperti mengetahui bahwa aku mulai keenakan lagi. Maka kugoyang-goyang pinggulku perlahan, ke kiri dan ke kanan.
Irvan melenguh. Diremasnya kedua bongkah pantatku, lalu gerakannya jadi lebih kuat dan cepat. Batang kemaluannya yang luar biasa keras menghunjam-hunjam vaginaku. Aku mulai mengerang-erang lagi.
“Oooorrrgghhhh….., aaahhhhh….., ennaaak….., kontolmu enak bangeeeettt…!!”
Ivan tidak bersuara, melainkan menggecak-gecak semakin kuat. Tubuhku sampai terguncang-guncang. Aku menjerit-jerit. Cepat sekali, birahiku merambat naik semakin tinggi. Kurasakan Irvan pun kali ini segera akan mencapai klimaks. Maka kuimbangi gerakannya dengan menggoyangkan pinggulku cepat-cepat. Kuputar-putar pantatku, sesekali kumajumundurkan berlawanan dengan gerakan Irvan. Cowok itu mulai mengerang-erang pertanda dia pun segera akan orgasme.
Tiba-tiba Irvan menyuruhku berbalik. Dicabutnya penisnya dari kemaluanku. Aku berbalik cepat. Lalu kukangkangkan kedua kakiku dengan setengah mengangkatnya. Irvan langsung menyodokkan kedua dengkulnya hingga merapat pada pahaku. Kedua kakiku menekuk mengangkang. Irvan memegang kedua kakiku di bawah lutut, lalu batang penisnya yang keras menghunjam mulut vaginaku yang menganga.
“Aaaaarrgghhh…!!!” aku menjerit. “Aku hampir keluar!” Irvan bergumam. Gerakannya langsung cepat dan kuat. Aku tidak bisa bergoyang dalam posisi seperti itu, maka aku pasrah saja, menikmati gecakan-gecakan keras batang kemaluan Irvan. Kedua tanganku mencengkeram sprei kuat-kuat.
“Terus, Sayang…, teruuuusss…!” desahku. “Ooohhh, enak sekali…., aku keenakan…, enak ngentot sama kamu!” “Aku juga, aku juga, memekku keenakaaaan….!” “Aku udah hampir keluar, Sayaaang…., memek kamu enak bangeeeet….” “Aku juga mau keluar lagi, tahan dulu! Terussss…., yaaah, aku juga mau keluaaarrr!” “Ah, oh, uughhh, aku gak tahan, aku gak tahan, aku mau keluaaar….!” “Yaaaahhh teruuuussss, sodok terussss!!! Aku enak, aku enak, Sayaaang…, aku mau keluar, aku mau keluar, memekku keenakan, aku keenakan ngentot sama kamu…., yaaahhhh…, teruuusss…, aaarrgghhh…., ssshhhhhh…, uuugghhh…, aaaaaarrrghhh!!!!”
Tubuhku mengejang sesaat sementara otot vaginaku terasa berdenyut-denyut kencang. Aku menjerit panjang, tak kuasa menahan nikmatnya orgasme. Pada saat bersamaan, Irvan menekan kuat-kuat, menghunjamkan batang kemaluannya dalam-dalam di liang vaginaku.
“Ooooooohhhhh….!!!” dia pun menjerit, sementara terasa kemaluannya menyembur-nyemburkan cairan mani di dalam vaginaku. Nikmatnya tak terkatakan, indah sekali mencapai orgasme dalam waktu persis bersamaan seperti itu.
Lalu tubuh kami sama-sama melunglai, tetapi kemaluan kami masih terus bertautan. Irvan memelukku mesra sekali. Sejenak kami sama-sama sibuk mengatur nafas.
“Enak banget,” bisik Irvan beberapa saat kemudian. “Hmmmmm….” Aku menggeliat manja. Terasa batang kemaluan Irvan bergerak-gerak di dalam vaginaku. “Memek kamu enak banget, bisa nyedot-nyedot gitu…” “Apalagi kontol kamu…, gede, keras, dalemmm…” “Kamu ngantuk gak? Kita nginep di sini aja yuk…!” “Kalo tidur sih mendingan di rumah masing-masing aja!” “Justru itu, aku mau kita ngentot sampe pagi…!”
Berkata begitu, Irvan bergerak menciumi aku lagi. Kali ini diangkatnya tangan kananku, lalu kepalanya menyusup mencium ketiakku. Aku mengikik kegelian. Irvan menjilati keringat yang membasahi ketiakku. Geli, tapi enak. Apalagi kemudian lidahnya terus menjulur-julur menjilati buah dadaku.
Irvan lalu menetek seperti bayi. Aku mengikik lagi. Putingku dihisap, dijilat, digigit-gigit kecil. Kujambaki rambut Irvan karena kelakuannya itu membuat birahiku mulai menyentak-nyentak lagi. Irvan mengangkat wajahnya sedikit, tersenyum tipis, lalu berkata,
“Aku bisa gak puas-puas ngentot sama kamu…. Kamu juga suka kan?”
Aku tersenyum saja, dan itu sudah cukup bagi Irvan sebagai jawaban. Alhasil, malam itu kami bersetubuh tiga kali, dengan entah berapa kali mencapai orgasme. Yang jelas, keesokan paginya tubuhku benar-benar lunglai, lemas tak bertenaga. Hampir tidak tidur sama sekali, sekitar pukul 6 Irvan mengantarku pulang, lalu ke kantor. Di kantor rasanya aku kuyu sekali. Teman-teman banyak yang mengira aku sakit, padahal aku justru sedang happy, sehabis bersetubuh sepanjang malam dengan dua sahabat yang perkasa.
No comments:
Post a Comment